Pagelaran Seni Sunda di Padepokan Seni Mayang Sunda, Jumat, 4 Maret 2016




Event Mayang Sunda 4 Maret 2016

Jumat, 4 Maret 2016 pukul 19.30 - selesai akan digelar Baksya Candardimuka di Padepokan Seni Mayang Sunda, Jln. Peta 209 Bandung. Padepokan seni yang dikelola Disbudpar Bandung ini  akan menampilkan Rajah, Tarawangsa, Beluk Pantun, Cikeruhan, Rampak Kendang, lagu Sunda, Kacapi, dan lain-lain. Acara ini pun akan dimeriahkan oleh penyanyi pop Sunda Rita Tila, Tiko, serta MC Benny Syafaat.

1. Rajah
Rajah dalam masyarakat Sunda lebih dikenal dan erat kaitannya dengan seni “papantunan”. Pantun dalam bahasa Sunda berarti balada, atau ballad yakni nyanyian atau syair berlagu yang besifat epis. Hal ini tidak dipisahkan menjadi sendiri-sendiri antara rajah dan Papantunan, justru menjadi salah satu kesatuan yang utuh. Dalam seni papantunan Rajah dibagi menjadi dua bagian yaitu sebagai Rajah bubuka (pembuka) dan Rajah penutup (pamunah). Dilihat dari bait-bait dan kata yang tersurat di dalamnnya, mungkin saja rajah di maksudkan sebagai doa yang di dalamnnya berupa penghormatan orang Sunda zaman dahulu tehadap suatu kekuatan yang dianggap lebih besar (gaib). Rajah biasa digunakan juga sebagai panyinglar (mengusir) roh halus yang mendiami suatu tempat.

2. Tarawangsa
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.

Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri.


3. Beluk
Beluk adalah genre nyanyian yang terdapat secara luas dalam wilayah budaya Sunda. Istilah lain untuk beluk, terutama di wilayah bagian timur seperti Majalengka, adalah gaok. Mungkin kedua istilah itu diambil dari karakteristik teknik nyanyiannya, yang elak-eluk (berkelok-kelok), atau yang guak-gaok, gagaokan (“berteriak,” melengking-lengking). Beluk dinyanyikan laki-laki, dengan banyak memakai “suara kepala” (head voice, yodel), sehingga perpindahan antara suara normal dan suara kepala itu menciptakan liukan melodi atau loncatan-loncatan nada dan timber (warna suara) yang sangat kentara. Lengkingannya panjang-panjang, yang umumnya dilakukan dalam satu tarikan napas. Para penyanyi seolah berlomba untuk bisa mencapai nada setinggi-tingginya dengan nafas yang sepanjang-panjangnya.

Beluk membawakan suatu cerita, yang dibaca dari suatu buku yang disebut wawacan (“bacaan”), yaitu cerita yang ditulis dalam puisi-tradisional berbentuk pupuh, seperti misalnya pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Maskumambang, Magatruh, dan sebagainya yang dalam vokabuler Sunda berjumlah 17 pupuh.

4. Cikeruhan
Cikeruhan merupakan seni tari pergaulan yang umurnya sudah tua sekali. Awalnya lahir dari tradisi menanam padi sebagai wujud rasa syukur ke Dewi Sri Pohaci pada abad ke-18. Di waktu itu, orang-orang berjalan kaki mengangkat padi ke lumbung sambil menari serta menyuarakan peralatan bertaninya. Di waktu menari itu, satu orang pejabat Belanda yang bekerja di perkebunan menghentikan kegiatan mereka. Bukan karena tidak menyukainya, tapi dia malah meminta izin untuk ikut menari.

Cikeruhan berupa tari yang susunannya tersusun dari gerakan pencak silat, diiringi oleh ketuk tilu yang dibawakan dengan keidahan koreografi dan ekspresi dari penari lelaki dan wanita. Cikeruhan menggambarkan rekaman zaman dahulu dari jawara yang kebiasaannya bersenang-senang dan pamer kekuatan dalam acara kesenian setelah panen. Oleh karena itu, tidak aneh kalau Cikeruhan begitu kental dengan unsur pencak silatnya.

-----------

Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS