Bandung di Balik Kehidupan Para Tokoh Politik Indonesia Zaman Dulu




Sejarah Soekarno di Bandung

Bandung menjadi salah satu kawah candradimuka para tokoh nasional di era penjajahan. Berikut diantaranya:

1. Presiden Soekarno
- Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

- Ibu Inggit Garnasih, seorang perempuan yang lahir di Kamasan, Banjaran (17 Februari 1888) adalah sosok yang seolah menghamparkan permadani yang panjang untuk Bung Karno berpijak hingga memroklamasikan kemerdekaan.

Perasaan cinta Soekarno dan Inggit merupakan salah satu sejarah kemerdekaan Indonesia yang bersembunyi akibat hal kelumrahan cerita romansa. Ibu Inggit meramu sendiri bedak dan jamu Saripohatji yang kemudian beliau menjualnya meskipun kecil-kecilan. Penghasilan dari usaha tersebut memang tidak begitu besar.

Namun dari sanalah kebutuhan hidup keluarga kecil Bung Karno dipenuhi. Dari sana pula Inggit menafkahi Bung Karno, baik ketika masih menjadi studen di Technice Hoog School (THS), maupun ketika melakukan pergerakan kemerdekaan dari kebutuhan para pejuang lainnya. Di rumahnya yang bersahaja, kini terletak saksi bisu di Jalan Ciateul no. 8 (sekarang Jln. Inggit Garnasih).

- Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan di Bandung pada 1927 oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini. Selain itu, terjadi pengadilan para tokoh PNI yang ditangkap pada tanggal 18 Agustus 1930.

- Pada tahun 1877 Penjara Banceuy dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Penjara ini kemudian sangat berperan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, khususnya bagi Bung Karno. Di ruangan berukuran sekitar 2,5 kali 1,5 meter itu, Soekarno mendekam selama sekira delapan bulan setelah ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929.

Di tempat itu pula Soekarno menyusun pleidoinya yang sangat terkenal, "Indonesia Menggugat". Pledoi itu disampaikannya di muka sidang pengadilan di Gedung Landraad (sekarang gedung Indonesia Menggugat) pada 18 Agustus-22 Desember 1930.

- Soekarno merupakan murid dari seorang arsitek belanda sekaligus guru besar Sekolah Teknik, Wolff Schoemaker. Schoemaker adalah orang yang merancang rumah belakang Pendopo (sekarang rumah dinas Walikota Bandung), gedung AACC, Gereja Bethel dan Katedral, Landmark, gedung PLN, Masjid Cipaganti, hingga Gedung Isola dan bangunan Societeit Concordia (Museum Asia Afrika). Sama seperti gurunya, Soekarno juga merancang bangunan sampai akhir tahun 1930-an.

Berikut daftar beberapa bangunan yang dirancang oleh Soekarno:
1. Gedung paviliun utara Hotel Preanger Aerowisata di Jl. Asia Afrika, dibangun tahun 1929
2. Sepasang bangunan di Jl. Gatot Subroto. 54 & 56 yang jadi 'gerbang' masuk ke Malabar, dibangun tahun 1935
3. Rumah di belakang Pendopo yang sekarang jadi rumah dinas walikota Bandung, dibangun tahun 1935
4. Bangunan rumah tinggal di Jl. Kaca-kaca Wetan no. 8, dibangun sebelum tahun 1930
5. Bangunan rumah tinggal di Jl. Pasir Koja no 25
6. Bangunan rumah tinggal di Jl. Pungkur no. 169

- Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin asal Bandung Selatan (menurut sumber lain, konon berada di sekitar daerah Karasak) yang ditemui Soekarno. Saat itu, Bung Karno bercakap-cakap dengan petani tersebut. Bung Karno bertanya kepadanya, siapakah yang punya sawah ini? Dan Kang Marhaen pun menjawab kalau ialah yang mempunyai sawah tersebut.

Kemudian Bung Karno melanjutkan pertanyaannya, siapakah yang mempunyai alat-alat tani itu? Si petani menjawab bahwa ia juga yang mempunyai alat tani tersebut. Nah ketika itu Bung Karno heran, mengapa seorang yang memiliki alat produksi sendiri malah miskin. Petani inilah gambaran masyarakat Indonesia. Petani tersebut miskin karena sistem yang ada yang membuat ia miskin. Jadi marhaenisme adalah ajaran Bung Karno tentang masyarakat Indonesia yang seutuhnya. Masyarakat indonesia yang merupakan lapisan pondasi dari bangsa ini.

Marhaenisme merupakan sebuah pemikiran ideologi yang membela kaum marhaen atau kaum yang dimiskinkan oleh sistem. Konsep ini mungkin terlihat sama dengan konsep Marxisme dimana di dalam marxisme proletariat yang di perjuangkannya. Tapi marhaenisme memperjuangkan semua lapilan masyarakat indonesia yang tertindas oleh sistem penguasa. Marhaenisme bukanlah suatu perlawanan terhadap ideologi Indonesia. Marhaenisne juga bukan suatu azas pemberontakan, tetapi merupakan suatu cara berpikir rakyat indonesia dalam berkehidupan di Indonesia.

2. Tan Malaka
Pada tanggal 2 Maret 1922, pemerintah kolonial menangkap Tan Malaka di Bandung setelah terjadi pemogokan besar-besaran buruh pelabuhan dan pabrik minyak. Tan Malaka ditahan dan diasingkan ke negeri Belanda, sebagai hukuman atas langkah-langkah politiknya. Kondisi inilah yang mendorong petualangannya lebih jauh lagi, ia menghabiskan waktunya dari satu negara ke negara lainnya selama duapuluh tahun hingga memutuskan kembali ke Indonesia tahun 1942 bersamaan dengan pendudukan Jepang.

3. R.M Panji Sosrokartono
Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya "Pangeran dari Tanah Jawa". Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897, mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I. Di Indonesia, Sosrokartono mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia juga membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung (di Jalan Pungkur 7).

Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia mendirikan perpustakaan dan rumah pengobatan. Kini bangunan di Jalan Pungkur No. 7 itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti, begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai sejak 1960-an. Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.

4. WR Soepratman
Wage Rudolf Soepratman menyelesaikan Sekolah Dasar di Jakarta dan meneruskan pendidikan ke Normal School Makassar hingga tamat. Setelah itu, pindah ke Bandung setelah sebelumnya sempat bekerja sebagai guru sekolah dasar di Makassar.

Di Bandung beliau bekerja sebagai wartawan dan sejak itu ikut aktif dalam pergerakan nasional. Kebenciannya terhadap Belanda pernah ia tuangkan dalam sebuah bukunya yang berjudul Perawan Desa. Namun buku tersebut dilarang beredar serta disita Belanda. Pada tahun 1924 di kota Bandung W.R Soepratman berhasil menciptakan Lagu Indonesia Raya, setelah terinspirasi oleh sebuah Tulisan di Harian Timbul yang dibacanya saat di Jakarta.

Adalah sebuah toko waralaba di Jalan Contong, Cimahi, Jawa Barat, sekilas tidak berbeda dengan bangunan waralaba lainnya di berbagai tempat di Indonesia. Namun siapa sangka, di balik toko waralaba Cimahi itu terdapat kisah pencipta lagu Indonesia Raya, WR Soepratman. Dulu, rumah panggung yang memiliki luas 160 meter persegi ini ditinggali Simbah Siti dan Mbah Senen Sastrodihardjo yang tidak lain adalah orang tua Wage Rudolf (WR) Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya.

Sepeninggal Mbah Siti dan Mbah Senen, rumah mereka ditempati kakak WR Soepratman yang datang dari Sibolga, Sumatera, Ngadini Supriatini pada 1952. Ketika WR Soepratman berkunjung, Syafaat dan kakak-kakak WR Soepratman harus siap berbagi tempat tidur. Pasalnya, hanya ada empat kamar di rumah si Mbah, dua kamar dipakai si Mbah, satu kamar dipakai kakak Soepratman, Soeparto, dan satu kamar dipakai keroyokan oleh Syafaat dan kakak-kakak Soepratman lainnya.

Kamar keroyokan itulah yang sering dijadikan tempat tidur oleh WR Soepratman saat berkunjung ke Cimahi. Bahkan ketika sakit keras, WR Sopratman dan istrinya, Salamah, tinggal tetirah di sana selama sebulan penuh. Beberapa bulan setelah dia sakit, sang komponis akhirnya meninggal di Surabaya.

-----------

Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS