Bangunan Art Deco Peninggalan Belanda di Kota Bandung





Seni bergaya art deco dikenal di Indonesia, khususnya bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial. Bandung termasuk salah satu kota yang terkenal banyak meninggalkan jejak bangun art deco. Sebetulnya, ini bisa menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan yang melancong ke Kota Bandung. Merunut pada sejarahnya, masa kejayaan arsitektur art deco di Bandung mulai dikenal publik pada tahun 1920-an. Mulanya, pada 1915, Gubernur Jenderal J.P. de Graaf van Limburg Stirum ingin memindahkan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Alasannya, Bandung dianggap lebih nyaman untuk ditinggali, apalagi sejak H.F. Tillema, seorang ahli kesehatan memaparkan makalah tentang buruknya sanitasi di kota-kota pantai. Ia juga menyebutkan kelembapan yang tinggi serta suhu yang panas di kota-kota tersebut tidak cocok bagi warga Eropa.

Maka, Belanda-pun mendatangkan banyak arsitek andal dari negaranya untuk membangun dan menata Bandung. Mula-mula mereka membangun pusat militer yang dikonsentrasikan di pusat Kota Bandung dan Cimahi. Pada perkembangangan selanjutnya, mulailah dibangun pusat pemerintahan yang ditandai dengan pendirian Gedung Sate pada (1920) dan selesai empat tahun kemudian. Arsitek-arsitek yang berkarya di Bandung terpengaruh dengan gaya arsitektur yang tengah populer di Eropa saat itu, yakni gaya art deco. Istilah ini sebetulnya baru dikenal di dunia arsitektur pada tahun 1966, saat digelar pameran bertema "Les Annes" di Paris. Gaya art deco diidentikkan dengan ragam bangunan yang menyertakan dekorasi khusus. Jadi, karya bangunan lahir terlebih dahulu, baru ada penamaan istilah.

Dekorasi art deco sendiri bisa berupa kaca patri, warna cat, ornamen bentuk hingga benda-benda yang mewakili kebudayaan Indonesia. Sesuai klasifikasinya, arsitektur langgam art deco dibedakan menjadi empat, yaitu floral deco, streamline deco, zigzag deco, dan neoclassicael deco. Di Indonesia, banyak dikenal dua langgam yang pertama disebut, jarang didapati corak ketiga dan keempat.

Adapun karya arsitektur langgam art deco di Bandung terlihat ada dua macam mainstream, yaitu yang penuh dengan inovasi seni dekoratif, antara lain diwakili oleh Gereja Katedral St. Petrus (1922), Gereja Bethel (1925), Hotel Preanger (1929), dan Vila Isola (1932) yang dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker. Kedua yaitu yang memanfaatkan dekorasi floral. Jumlah bangunan seperti ini saat ini paling besar di Bandung. Ketiga yang mengutamakan fasade streamline, yaitu Hotel Homann (1931), Gedung Bank BJB Pusat (Jln. Naripan), Vila Tiga Warna, dan Vila Dago Thee yang dirancang oleh A.F. Albers antara tahun 1931 - 1938.

Jika kita ingin menikmati kemegahan bangunan tua khas art deco di Bandung, dapat dimulai dari Jalan Asia–Afrika. Di jalan yang bersejarah ini banyak berjejer bangunan kuno yang megah baik yang berarsitektur art deco maupun langgam arsitektur klasik lainnya. Grand Hotel Preanger, Hotel Savoy Homann, Gedung Merdeka, Toko De Vries dan, Kantor Pos Bandung merupakan beberapa diantaranya.

Grand Hotel Preanger pada awalnya merupakan sebuah toko hingga kemudian mengalami beberapa kali renovasi dan berubah fungsi menjadi hotel. Hotel bergaya art deco geometric ini didesain ulang oleh C.P. Wolff Schoemaker pada tahun 1929 dibantu oleh seorang muridnya sebagai juru gambar yang tak lain adalah Ir. Soekarno, yang kemudian menjadi Presiden pertama Indonesia.

Hotel Savoy Homman pada awalnya bernama hotel Homann, yang dimiliki oleh keluarga Homann. Pada tahun 1940 hotel bergaya art deco jenis streamline moderne ini didesain ulang oleh Albert Aalbers yang kemudian namanya ditambah menjadi Hotel Savoy Homann. Beberapa tokoh dunia pernah menginap di hotel ini, salah satunya adalah Charlie Chaplin. Pada waktu diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika tahun 1955, hotel ini bersama dengan hotel Grand Preanger menjadi tempat menginap para pemimpin dunia.

Di sebelah utara Hotel Savoy Homann terdapat Gedung de Vries. Gedung ini disebut-sebut sebagai pusat perbelanjaan pertama di Bandung. Tahun 1909 dan 1920 dilakukan pemugaran toko de Vries oleh biro arsitek Edward Cuypers Hulswitt dengan gaya klasik indis. Terakhir pada tahun 2010 toko ini kembali dipugar hingga tampilannya seperti tampak saat ini.

Gedung Merdeka pertama kali dibangun pada tahun 1895 dengan nama Societeit Concordia. Pada tahun 1926 bangunan ini direnovasi seluruhnya oleh Wolff Schoemacher, Aalbers dan Van Gallen. Pada tahun 1954 gedung ini di pugar kembali untuk keperluan Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan pada tahun 1955.

Masih di jalan Asia–Afrika, terdapat Kantor Pos Besar Bandung. Kantor pos ini selesai dibangun pada tahun 1928 hasil rancangan arsitek J. Van Gendt dengan gaya art deco geometric. Dahulu jalan tempat kantor pos ini berada bernama Postweg (Jalan Raya Pos). Jalan Raya Pos merupakan jalan sepanjang 1000 km yang dibangun pada masa Gubernur Jendral Daendels yang membentang dari Anyer hingga Panarukan dan melewati kota Bandung.

Di Jalan Braga, kita bisa melihat jajaran toko-toko kuno bergaya art deco. Di jalan ini juga terdapat Gedung Denis Bank (sekarang Bank BJB) yang di bangun pada tahun 1936 oleh arsitek Albert Aalbers bergaya art deco jenis streamline moderne. Berdekatan dengan Denis Bank terdapat gedung bekas bioskop Majestic hasil karya arsitek C.P. Wolff Schoemaker yang telah berdiri sejak tahun 1925. Kini gedung bekas bioskop tersebut bernama New Majestic dan difungsikan untuk kegiatan seni budaya. Masih di Jalan Braga, kita juga bisa menikmati keindahan Gedung Bank Indonesia yang dahulu bernama Javasche Bank. Gedung ini selesai dibangun pada tahun 1918 oleh arsitek Hulswit, Fermont dan Edward Cuyfers dengan gaya Neo Klasik.

Di daerah Bandung utara terdapat bangun Villa Isola yang berdiri megah di pinggir Jalan Setiabudi (Ledeng). Villa Isola kini dipakai oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung (dulu IKIP Bandung). Villa Isola adalah salah satu bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung. Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat.

Sementara di sekitar Jalan Ir. H Juanda (Dago), terdapat Gedung De Drie Kleur (Gedung Tiga Warna) karya arsitek Belanda Albert Frederik Aalbers yang dibangun pada akhir dekade 1930. Tujuan pembangunannya untuk kantor sekaligus rumah seorang pengusaha China.Pada masa pendudukan Jepang, bangunan itu difungsikan sebagai Kantor Berita Domei. Pada 17 Agustus 1945, Kantor Berita Domei menerima kawat berisi teks proklamasi. Bangunan Drie Kleur menjadi saksi dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Kota Bandung untuk pertama kalinya. Gedung De Drie Kleur (dalam bahasa belanda artinya Tiga Warna kemungkinan warna bendera belanda yaitu merah-putih-biru) di sudut Jln. Sultan Agung dengan Jln. Ir. H. Djuanda (Dago) yang kini menjadi kantor Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).

Ada juga salah satu sekolah yang bangunannya berlanggam art deco, yaitu SMA Negeri 20 Bandung. Sampai dengan saat ini, bangunan yang beralamat di Jl. Citarum no. 23  ini belum diketahui hasil karya arsitek siapa. Pada tanggal 2 Juni 1987 gedung ini dijadikan tempat belajar siswa SMAN 20 Bandung yang sebelumnya digunakan oleh SPG Negeri 2 Bandung. Bangunan sekolah ini dibangun tahun 1930 di atas tanah seluas 6.205,1 m2 dengan luas bangunan waktu itu 1.536,1 m2.

Satu lagi bangunan yang dikenal dengan langgam art deco adalah Gedung Stasiun Bandung. Pada 1909, arsitek FJA Cousin memperluas bangunan lama Stasiun Bandung, salah satunya ditandai dengan hiasan kaca patri pada peron bagian selatan yang bergaya Art Deco. Tahun 1918, stasiun ini menghubungkan Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali. Lalu, setahun kemudian dibangun lintas Bandung-Citeureup-Majalaya dan pada jalur yang sama dibangun jalur Citeureup-Banjaran-Pengalengan (1921). Untuk jalur ke perkebunan teh, pada tahun 1918, dibangun jalur Bandung ke Kopo dan kemudian ke Ciwidey (Maret 1921).

Stasiun ini mendapat penghargaan dari pemerintah kota pada masa itu berupa monumen yang berada tepat di depan stasiun, yaitu di peron selatan (Jalan Stasiun Selatan). Saat itu, tugu tersebut diterangi oleh 1.000 lentera rancangan Ir. EH De Roo. Monumen tersebut telah digantikan oleh monumen replika lokomotif uap seri TC 1008. Pada tahun 1990, dibangun peron utara yang akhirnya dijadikan bagian depan stasiun di Jalan Kebon Kawung.

Profil gedung-gedung bersejarah lainnya LIHAT DI SINI.

-----------

Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS