Sentra kain sarung Majalah, dimulai oleh Bapak H. Ondjo Argadinata yang mendirikan industry tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (Alat Tenun Bukan Mesin/ATBM) dan kemudian muncul Bapak H. Abdul Gani yang juga merupakan tokoh perintis industri tekstil di Majalaya pada masa pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1930 berkat kepiawaian Bapak H. Abul Gani Sejarah pertekstilan di Majalaya menorehkan sejarah pertestilan di Indonesia dengan membangun pabrik tekstil pertama di Majalaya dan mungkin pertama di Indonesia yang diberi nama S-OE (Saoedara Oesaha).
Sementara untuk pemasaran sarung tenun, nama Pasar Tanah Abang dan sentra indistri tenun Majalaya seakan tak terpisahkan. Para perajin sebagian besar menjadikan Pasar Tanah Abang sebagai tujuan pengiriman barang yang akan disistribusikan ke seluruh Nusantara hingga mancanegara. Ketika pada 2007, Pasar Tanah Abang kebakaran, sentra industri tenun Majalaya langsung terkena imbasnya. Walaupun sentra industri tenun Majalaya telah hilang masa keemasannya, namun sampai kini ada beberapa industri sarung made in Majalaya yang masih beroperasi. Umumnya, pengusaha tenun sarung Majalaya saat ini adalah generasi kedua dan ketiga yang mewarisi usaha orangtua.
Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total produksi kain di Indonesia. pada tahun 1960-an saat Majalaya dijuluki Kota Dollar. Untuk memenuhi bahan baku tenun maupun keperluan sehari-hari saat itu sangat mudah. Warga tinggal keluar rumah, sudah banyak penjual mengantre. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di Jawa Barat.
Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem makloon.
Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem makloon.
Kain sarung Majalaya banyak yang memesan untuk hadiah Tunjangan Hari Raya (THR) atau untuk diberikan sebagai sumbangan. Hal ini biasanya terjadi beberapa bulan sebelum Bulan Ramadhan. Begitu pula pada momen musim haji. Ciri-ciri sarung Majalaya mudah dikenali. Motifnya monoton kotak-kotak atau perpaduan lurik horisontal-vertikal, serat benangnya sedikit kasar. Acapkali pintalan dan rajutannya sedikit renggang dan mudah berbulu.
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS