"Groneman yang budiman, maukah engkau membukakan jendela kamarku ini? Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku yang tercinta. Buat akhir kali, aki ingin memandang hutan-hutanku. Kuingin sekali lagi menghirup udara pegunungan yang segar." Itulah yang diucapkan Junghuhn menjelang kematiannya (1864), kala itu ia memohon kepada dr. Groneman sahabat karibnya menjelang ajalnya di daerah Lembang.
Penjelajah keturunan Jerman ini menjadikan Bandung sebagai tanah kelahirannya yang kedua. Junghunn menjelang usia senja hidup tenang didampingi anak dan istrinya di lereng Gunung Tangkuban Parahu. Ia menggambarkan tempat terakhir hidupnya itu sebagai "batin manusia yang paling tenteram".
Tahukah
Anda bahwa pada masa sebelum Perang Dunia II lebih dari 90% kebutuhan
bubuk kina di dunia dicukupi oleh perkebunan dan pabrik kina di sekitar
wilayah Bandung? Di balik ketenaran Bandung sebagai penghasil bubuk kina,
tak lepas dari nama Franz Wilhelm Junghuhn. Franz Wilhelm Junghuhn
(lahir di Mansfeld (dekat Pegunungan Harz), 26 Oktober 1809 – meninggal
di Lembang, 24 April 1864 pada umur 54 tahun) adalah seorang naturalis,
doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman (lalu
Belanda).
Junghuhn berjasa sebagai peneliti di Pulau Jawa dari sudut pandang ilmu bumi, geologi, vulkanologi dan botanik dan juga daerah Batak di Sumatera. Uraian menurut ilmu alam dia menuangkan pada karya utamanya, Pulau Jawa: Bentuknya, Permukaannya, dan Susunan Dalam (3 jilid, 1852-54), yang dilengkapi oleh peta pertama dari pulau itu yang terperinci. Junghuhn juga menyusun sejumlah herbarium, singkatan ilmiahnya adalah Jungh. Dikenal pada upaya-upayanya untuk membina pemiliharaan pohon-pohon cinchona untuk menghasilkan obat kinine.
Sejarah ditanamnya pohon kina pertama di Indonesia ditandai dengan sebuah tugu yang dibangun di sebuah taman yang berlokasi di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam keterbatasan dana, Junghuhn menjelajahi hutan hujan tropis dan gunung-gunung di Pulau Jawa, seperti G. Gede, G. Guntur, G. Patuha, G. Tangkuban Perahu, G. Papandayan, G. Galunggung, dan G. Ciremai.
Gunung Papandayan yang sudah mulai didaki tahun 1800-an oleh para pendaki dan ilmuwan dari negeri Hindia Belanda ini semakin terkenal di Eropa sejak Junghuhn mengunjunginya sekitar bulan Juli 1837. Masih pada tahun yang sama, beliau menjelajahi kawasan Gunung Patuha dan menemukan kawah yang kita kenal sekarang sebagai Kawah Putih. Beliau menjelajah kawasan Gede Pangrango (1839-1861). Ia juga orang yang pertama tercatat mendaki Raung pada tahun 1844, mendaki Gunung Semeru dari jalur Gunung Ayek-ayek. Sementara mendaki Gunung Ider-ider dan Gunung Kepolo dilakukannya pada tahun 1845.
Gunung Papandayan yang sudah mulai didaki tahun 1800-an oleh para pendaki dan ilmuwan dari negeri Hindia Belanda ini semakin terkenal di Eropa sejak Junghuhn mengunjunginya sekitar bulan Juli 1837. Masih pada tahun yang sama, beliau menjelajahi kawasan Gunung Patuha dan menemukan kawah yang kita kenal sekarang sebagai Kawah Putih. Beliau menjelajah kawasan Gede Pangrango (1839-1861). Ia juga orang yang pertama tercatat mendaki Raung pada tahun 1844, mendaki Gunung Semeru dari jalur Gunung Ayek-ayek. Sementara mendaki Gunung Ider-ider dan Gunung Kepolo dilakukannya pada tahun 1845.
Salah satu bukti bahwa Bandung adalah penghasil kina, di Jl. Pajajaran terdapat pabrik kina (kini Kimia Farma) yang menjadi simbol Kota Bandung selama puluhan tahun. Pada tahun 1980-an masyarakat Bandung akrab dengan asaphi tam yang membumbung dari cerobong nya. Asap yang berasal dari pembakaran mesin ketel uap manual Babcox & Wilcox, dan suara sirine yang berbunyi sebanyak 4 kali penanda waktu karyawan masuk kerja (7.30) beristirahat (11.30) kembali masuk kerja (12.00)dan pulang kerja (16.00). Karyawan Pabrik Kina sering menyebutnya "si heong". Sejak 1896 hingga saat ini si heong belum pernah absen mengeluarkan suaranya.
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS