Pada bulan Juni 2011, masyarakat Bandung dihebohkan dengan pemberitaan melalui berbagai situs internet dan jejaring sosial, kali ini tentang gempa bumi dengan kekuatan 4,8 pada skala Ritcher di bagian barat Sesar Lembang, Rabu (22 Juni 2011) pagi. Meski demikian, kabar itu merupakan isapan jempol belaka karena sejumlah warga di barat Sesar Lembang, yakni sekitar Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat mengaku sama sekali tidak merasakan getaran gempa
Namun "peringatan alam" itu terjadi juga. Pertama kali terjadi, Minggu (28 Agustus 2011) sekitar pukul 16.40 WIB dengan kekuatan 3,3 skala richter. Gempa susulan terjadi Sabtu (3 September 2011) pukul. 23.30 WIB dengan skala kecil. Kemudian getaran lebih besar terjadi Minggu, (4 September 2011) pukul 00.45 WIB dengan kekuatan 2,5 skala richter. Warga kembali merasakan getaran pukul O5.15 WIB, dan pukul 20.30 WIB. Walaupun dalam hal ini, sejumlah ahli geologi masih berbeda pendapat mengenai penyebab gempa di Cisarua. Data Badan Geologi menunjukkan, gempa itu disebabkan pergerakan sesar darat di Desa Selacau, Kecamatan Batujajar dengan kedalaman 10 km. Sementara menurut peneliti LIPI, Eko Yulianto, gempa diduga kuat disebabkan aktivitas Sesar Lembang sepanjang 22 km dari Cisarua, Kabupaten Bandung Barat hingga Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung.
***
Mungkin tak banyak yang tahu, jika Bandung kini menjadi perhatian serius sejumlah ahli geologi. Perhatian serius itu tertuju terhadap sebuah sesar yang berada di Bandung. Sesar, yang dalam istilah ilmiah disebut fault, merupakan retakan di kerak bumi yang mengalami pergeseran atau pergerakan. Sesar Lembang, demikian namanya. Selama ini banyak yang mengira bahwa Sesar Lembang tidak aktif. Padahal sebaliknya, sesar ini adalah salah satu sesar teraktif di Pulau Jawa. Pada 1910 pernah terjadi gempa bumi besar di daerah Padalarang. Gempa tersebut termasuk dalam pergerakan patahan Cimandiri yang memang aktif. Sesar Lembang memang juga terhubung dengan Sesar Cimandiri. Memang selama ini, tidak pernah ada catatan bahwa Sesar Lembang pernah mengalami gempa.
Secara umum, ada tiga kategori jenis sesar, yaitu sesar normal (normal fault), sesar naik (reverse fault), dan sesar geser mendatar (strike-slip fault). Dengan memerhatikan morfologi yang terbentuk, sesar Lembang termasuk dalam kategori sesar normal. Bagian utara sesar bergerak turun sementara bagian selatan terangkat. Akibat dari proses tektonis ini, maka terbentang suatu gawir (lereng) yang merupakan bidang gelincir sesar Lembang.
Berdasarkan penelitian para ahli, Tim S2 Great ITB dan Japan International Cooperation Agency (JICA), menggunakan Global Positioning System (GPS) didapat data bahwa kecepatan laju geser dari sesar Lembang sekitar 2 milimeter per tahun. Ini adalah sebuah peringatan akan potensi bencana. Laju sesar ini memang lebih lambat dibandingkan pergerakan sesar di Sumatera yang berkisar antara 100-130 milimeter per tahun, namun tetap Sesar Lembang patut diwaspadai. Pasalnya, dengan menggunakan data empiris, suatu patahan yang telah terbentuk sepanjang lebih dari 20 kilometer, bisa memicu gempa sebesar 6,5-7,0 SR, yang merusak.
Peneliti dari Geoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, sesar tersebut berada tepat di atas Bandung. Beberapa bangunan tepat berada di atas sesar itu. Bangunan-bangunan itu antara lain Observatorium Bosscha, Sesko AU, Sespim Polri, Detasemen Kavaleri TNI-AD, dan Restoran The Peak.
Beberapa bagian sesar Lembang yang terangkat, antara lain adalah Gunung Palasari, Batunyusun, Gunung Batu dan Gunung Lembang, Cihideung, The Peak, dan Jambudipa bagian barat. Wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat berpotensi membahayakan. Para peneliti sepakat, jika terjadi pergerakan di patahan itu, maka akan dapat memicu gempa bumi dan yang akan mengancam hidup banyak orang. Namun sayangna, masyarakat yang tinggal di sekitar Lembang ataupun Bandung belum banyak yang mengetahui Sesar Lembang ini.
Namun yang pasti potensi gempa yang disebabkan aktivitas Patahan atau Sesar Lembang harus diwaspadai! Walaupun kita tahu siklus gempa berbeda-beda untuk setiap magnitudonya. Kita juga tidak bisa memastikan kapan tepatnya gempa itu akan terjadi kembali. Akan tetapi, bukankah bersiap-siap mengantisipasi dampak yang ditimbulkannya harus dimulai dari sekarang?
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS