Terakhir kalinya tahun '90-an penulis melihat sang legenda Braga, Mang Peno alias Soepeno alias Braga Stones pentas di perpisahan sekolah. Hari itu dalam panas teriknya hari, sang maestro kecapi tunanetra itu membawakan lagu-lagu dari Rolling Stones, Beatles, dan lainnya dengan iringan kacapi. Anak-anak SMA yang sedang demam musik rock alternatif/grunge pada waktu itu hanya bisa mengucap: "Eduuun!" Ya, suara petikan kacapi Mang Peno seakan membius para penonton. Ia begitu pawai memainkan kecapi layaknya suara gitar. Bagi warga Bandung tahun '70 - '80-an siapa yang tidak mengenal sosok Soepeno si Braga Stone ini? Tempat mangkalnya di Jalan Braga seakan menjadi ikon sendiri di jalan yang dikenal elit di Kota Bandung itu. Jika kita menganggapnya sebagai seniman sejati, dialah sebenarnya seniman yang total dalam bermusik.
Lelaki yang sering menggunakan kacamata hitam saat berpentas itu jari jemarinya terampil memainkan dawai kecapi. Soepeno, lelaki kelahiran Kota Medan, Sumatera Utara ini, ayahnya berdarah Pasundan dan ibunya turunan Jawa. Julukan "Braga Stones" ia dapatkan karena sering mangkal di Jalan Braga Bandung. Harmonika di bibirnya dan petikan dawai kecapi akan membius penonton saat ia beraksi memainkan segala jenis musik pop. Walau kelas "pengamen" yang matuh di Jalan Braga, konser musik di Bandung hingga JakJazz di Jakarta pernah ia sambangi.Namanya dikenal oleh para seniman musik dan sudah pasti oleh warga Bandung mah.
Pada 1977 Bimbo pernah mengajak Braga Stones mengisi introduksi dan interlude lagu "Sendiri" (karya Titiek Puspa) Malah waktu itu, Bimbo sendiri pernah mengajak Braga Stones tampil di TVRI. Namaya populer seantero Nusantara. Keajaiban urang Bandung ini menjadika Majalah Aktuil (majalah musik yang ngetren waktu itu) kerap memberitakan kiprah Braga Stones. Malah, YessRecord (perusahaan rekaman dari Bandung) pernah merekam Braga Stones dalam album-album progressive rock serta jazz. Kemudian album kaset "Kecapi In Pop" pada 1978 adalah kemasan instrumental kecapi Braga Stones yang memuat karya Braga Stones berisi lagu-lagu pop: Blowin' in the Wind, Obladi Oblada, Anna, Shinano Yoru, Air Mata Kekasih, Widuri, dll.
Sosok Mang Peno ini sangat piawai dalam memainkan lagu-lagu The Beatles hingga Bob Dylan dengan Blowin' In The Wind. Bukan hanya lagu-lagu Barat, Braga Stones juga kerap membawakan lagu pop Indonesia seperti "Mungkinkah" yang dipopulerkan Kris Biantoro atau "Widuri" yang dipopulerkan Bob Tutpoli. Mang Supeno memilik keluarga dengan tiga anak yang semuanya normal. Ia adalah potret seniman sederhana yang bertanggung jawab dan penuh totalitas dalam berkarya. Selama menempuh kariernya sebagai seniman kecapi, ia pernah mengarungi Yogya, Bogor, Solo, Jakarta, Sukabumi, dan kota-kota lain. Saat "mentas" di Jalan Braga ia bekerja dari pukul delapan pagi hingga pukul satu tengah hari. Kemudian main lagi antara pukul lima sore sampai pukul sembilan malam. Para penikmat jentreng kacapi-nya kadang rekues lagu oleh para pengunjung atau para pemilik toko di Jalan Braga dengan imbalan beberapa rupiah.
Sosok Mang Peno ini sangat piawai dalam memainkan lagu-lagu The Beatles hingga Bob Dylan dengan Blowin' In The Wind. Bukan hanya lagu-lagu Barat, Braga Stones juga kerap membawakan lagu pop Indonesia seperti "Mungkinkah" yang dipopulerkan Kris Biantoro atau "Widuri" yang dipopulerkan Bob Tutpoli. Mang Supeno memilik keluarga dengan tiga anak yang semuanya normal. Ia adalah potret seniman sederhana yang bertanggung jawab dan penuh totalitas dalam berkarya. Selama menempuh kariernya sebagai seniman kecapi, ia pernah mengarungi Yogya, Bogor, Solo, Jakarta, Sukabumi, dan kota-kota lain. Saat "mentas" di Jalan Braga ia bekerja dari pukul delapan pagi hingga pukul satu tengah hari. Kemudian main lagi antara pukul lima sore sampai pukul sembilan malam. Para penikmat jentreng kacapi-nya kadang rekues lagu oleh para pengunjung atau para pemilik toko di Jalan Braga dengan imbalan beberapa rupiah.
Jalan Braga telah kehilangan ikon dan roh dari sosok Braga Stones ini. Braga telah menjadi jalan yang telah hilang ciri hingar-bingar yang berbeda dengan waktu dulu sebagai pusat urang Bandung mencari angin di tengah kota. Kini, Braga hanyalah sebuah jalan yang hanya penuh dengan para pengunjung sekadar makan di restoran, berkunjung ke hotel atau mall, atau berpotret ria di depan gedung-gedung tua yang satu per satu mulai dirubuhkan. Jalanan yang gemeretak karena batu yang harusnya diinjak kaki manusia, namun abnormal karena dilewati mobil. Mang Supeno adalah saksi Jalan Braga. Kehilangan sosoknya kini di salah satu sudut di Jalan Braga, turut pula menghilangnya suasana Jalan Braga yang "merakyat", penuh inspirasi, dan dulu kerap dijadikan tongkrongan para seniman Bandung.
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS